Peluang Berbasis Kompetensi yang DIMILIKI

Berikut adalah tulisan yang dibuat oleh Bapak Rhenald Kasali yang menurut saya memberikan inspirasi tentang apa itu KOMPETENSI yang bisa di "explore" dalam diri kita atau yang kita miliki saat ini. 


Silahkan di lanjut...

Tidak banyak perusahaan, bahkan yang besar sekalipun dapat tumbuh dengan menciptakan pasar baru setelah pasar yang lama mengalami decline. 

Japan Airlines (JAL) atau Swiss Air adalah contoh perusahaan besar dengan pengalaman puluhan tahun pada industri penerbangan yang menemui kegagalan saat berusaha memacu pertumbuhan bisnisnya. Melakukan ekpansi untuk mengejar atau paling tidak mempertahankan eksistensi perusahaan memang krusial terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang pergerakannya mulai melambat. 

Dalam konteks ini mungkin kita harus pula belajar dari pengalaman Barings Bank atau Enron yang justru kolaps akibat kesalahan merumuskan strategi pertumbuhan mereka.

Bagi perusahaan kecil sekelas UKM gerakan mereka jelas lebih fleksibel dalam merespon setiap peluang, termasuk menciptakan pasar bagi pertumbuhannya. Mereka lebih lincah mengamati kebutuhan pasar, jadi tidak heran mereka bisa bertahan di tengah terpaan krisis berkepanjangan. Banyak contoh wirausahawan kelas UKM yang saya tampillkan sebagai tamu saya dalam acara "Bedah Bisnis" di TPI. Mereka sangat jeli memanfaatkan kebutuhan pasar sehingga dapat meraih pertumbuhan bagi usahanya. 
Sebut saja Pak Hidayat pemilik Perusahaan Mittran berhasil menciptakan pasar, justru pada bidang sampah yang diabaikan banyak orang. Demikian pula Andry Yunaswin yang pernah menjadi tamu saya yang berhasil memanfaatkan aki (accu) rongsokan sebagai lahan bisnis yang sangat prospektif. Satu hal yang mungkin dapat disimpulkan dari pengalaman para UKM ini adalah mereka sangat menguasai bisnis yang digelutinya.

Pak Andri yang saat ini menjadi mitra PT Telkom dalam mengembangkan usaha, sebelumnya hanya seorang distributor aki ke daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas listrik. Aki ini dimanfaatkan sebagai generator bagi banyak keperluan terutama sebagai power TV. Namun seiring dengan jaringan listrik yang mulai menjangkau seluruh daerah, pasar menjadi jenuh. Aki pun menjadi barang rongsokan yang kurang termanfaatkan. Pasar yang decline, bahkan sudah mati tidak membuat Pak Andri kehilangan akal. Berbekal penguasaan komponen aki ini dia justru menemukan peluang baru dalam memulai bisnisnya, yaitu bisnis alat pancing atau yang berhubungan dengan alat ”kail-mengkail” ikan yang terbuat dari timah asli. Aki bekas pun mulai dikumpulkan melalui jaringan yang ada, termasuk bengkel dan para pemulung. Kali ini pasar barunya adalah para nelayan dan mereka yang hobi memancing baik dalam maupun di luar negeri.

Produknya yang dibuat secara manual menjadi salah satu keunikan yang sangat digemari konsumennya. "Di dalam negeri, Palembang salah satu pasar utama kami, kawasan ini memiliki banyak rawa dan sungai yang kaya ikan. Sedangkan di luar negeri kami mengekspornya ke beberapa negara seperti Amerika, Jepang, Paraguay, Malaysia serta Singapura" Demikian penjelasannya saat diwawancarai. Apa yang diperoleh Andri saat ini tentu saja patut diapresiasi sebab tidak sedikit wirausahawan kita yang ikut "mati" seiring dengan hilangnya pasar yang selama ini dilayaninya. Banyak di antara mereka bangkrut karena gagal melakukan respon terhadap pasar yang cepat berubah.

Menemukan relasi antara bisnis yang digeluti dengan permintaan yang terus berubah, sama sulitnya dengan menggeluti bisnis baru yang berbeda dengan kompetensi kita. Dalam sebuah buku yang berjudul "Beyond The Core", Chris Zook mengemukakan bahwa dalam mengembangkan pasar dan memanfaatkan peluang yang ada, sebuah perusahaan hendaknya memperhatikan kompetensi yang dimilikinya. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan tidak tersesat dalam belantara persaingan yang tidak diketahui di mana perusahaan memiliki informasi yang sangat minim. Dalam buku tersebut digambarkan bahwa semakin jauh perusahaan dari kompetensinya maka peluang sukses pun semakin kecil. Agar kemungkinan sukses bisa lebih besar hendaknya perusahaan melakukan ekspansi yang sesuai kompetensinya.

Untuk itu perusahaan harus melakukan apa yang disebut Zook sebagai "adjacency moves" yaitu perluasan bisnis dilakukan pada aktivitas yang berbeda namun tetap berhubungan dengan kompetensi perusahaan. Jika ini bisa dilakukan maka peluang sukses bisa mencapai 37%. Demikian temuan Zook berdasarkan informasi dari para CEO yang di-interview-nya. Apa yang digambarkan di atas adalah fakta bahwa banyak perusahaan mengalami kesulitan mengembangkan bisnisnya. Yang berhasil adalah mereka yang bisa mengidentifikasi dengan benar kompetensinya—CK Prahalad menyebutnya sebagai core competence.

Selain itu perusahaan juga harus bisa membuat prediksi antara investasi yang dilakukan dengan potensial ’return’ yang dihasilkan. Dengan begitu perusahaan siap menanggung risiko apapun yang akan dihadapi. Dengan demikian sudah seharusnya para pemimpin perusahaan bisa menentukan kapan dan seperti apa pengembangan usaha dilakukan, mana peluang bisnis yang direspon dan mana yang tidak. Perusahaan juga diajak realistis menilai kemampuannya termasuk daya dukung organisasi jika menggeluti bisnis yang dinilai potensial. Selanjutnya banyak hal lagi yang perlu dipertimbangkan seiring besarnya skala perusahaan.

Membandingkan perusahaan skala besar dengan usaha sekelas UKM jelas berbeda, tapi di situlah letak persoalannya. Usaha sekelas UKM yang lebih simpel dengan mudah beralih ke usaha potensil lain, mereka tidak perlu berfikir secara panjang lebar dalam menimbang berbagai hal. Pak Andri memang risau saat berhadapan dengan kenyataan bahwa pasar aki sebagai pengganti lsitrik telah hilang, namun dengan sedikit kejeliannya ia dapat menemukan bisnis dengan potensi yang lebih besar. Dan yang lebih penting lagi bisnis tersebut sesuai dengan kompetensi yang digeluti sebelumnya. 

Jadi sungguh luar biasa mereka yang dapat menciptakan pasar baru bagi pertumbuhan perusahaannya tanpa harus beralih pada bisnis yang sama sekali berbeda dengan kompetensi sebelumnya. Dengan begitu mereka bisa efisien, sebab investasi dan kurva belajar yang panjang dapat diminimalisir dan ancaman kebangkrutan seperti dialami banyak perusahaan pun terhindarkan. (Rhenald Khasali)


0 komentar:

Post a Comment